Home » , » Hizbut-Tahrir Indonesia

Hizbut-Tahrir Indonesia



Tentang Hizbut-Tahrir

HIZBUT TAHRIR 
Pemikiran dan Platform Perjuangan



Mukadimah 
Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berlandaskan Islam. Politik merupakan kegiatannya dan Islam adalah mabda (ideologi)-nya. Hizbut Tahrir melakukan aktivitas politiknya di tengah-tengah umat dan bekerja sama dengan mereka. Aktivitas politik Hizbut Tahrir ini dimaksudkan untuk menjadikan Islam sebagai agenda utama permasalahan umat serta membimbing mereka untuk mendirikan kembali sistem khilafah dan menegakkan hukum berdasarkan wahyu yang telah diturunkan Allah ke dalam realitas kehidupan ini.

Hizbut Tahrir merupakan faksi/organisasi politik, bukan faksi/organisasi yang hanya berdasarkan spiritualisme (keruhanian) semata; bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian, penerj.); bukan lembaga pendidikan (akademis); dan bukan pula lembaga sosial-kemanusiaan (yang hanya bergerak di bidang sosial-kemasyarakatan, penerj.). Ide-ide Islam merupakan spirit (jiwa), inti, dan sekaligus rahasia kehidupannya.
 


Latar Belakang Berdirinya Hizbut Tahrir 
Hizbut Tahrir didirikan dalam rangka memenuhi seruan Allah Swt.:
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada al-Khayr (yaitu memeluk Islam), memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Ali Imrân [3]: 104).

Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang demikian parah; membebaskan umat dari ide-ide, sistem-sistem, dan hukum-hukum kufur; serta membebaskan mereka dari kekuasaan dan dominasi negara-negara kafir. Hizbut Tahrir juga bermaksud untuk membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga urusan pemerintahan dapat dijalankan kembali sesuai dengan wahyu yang telah diturunkan Allah Swt.
 

Keharusan Berdirinya Partai-partai Politik Menurut Syariat
Berdirinya Hizbut Tahrir, sebagaimana telah disebutkan, adalah dalam rangka memenuhi seruan Allah Swt., “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat.” Dalam ayat ini, sesungguhnya Allah Swt. telah memerintahkan umat Islam agar di antara mereka ada suatu jamaah (kelompok) yang terorganisasi. Kelompok ini memiliki dua tugas: (1) mengajak pada al-Khayr, yakni mengajak pada al-Islâm; (2) memerintahkan kebajikan (melaksanakan syariat) dan mencegah kemungkaran (mencegah pelanggaran terhadap syariat).

Perintah untuk membentuk suatu jamaah yang terorganisasi di sini memang sekadar menunjukkan adanya sebuah tuntutan (thalab) dari Allah. Namun demikian, terdapat qarînah (indikator) lain yang menunjukkan bahwa tuntutan tersebut adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu, aktivitas yang telah ditentukan oleh ayat ini yang harus dilaksanakan oleh kelompok yang terorganisasi tersebut --yakni mendakwahkan Islam dan melaksanakan amar makruf nahi mungkar-- adalah kewajiban yang harus ditegakkan oleh seluruh umat Islam.

Kewajiban ini telah diperkuat oleh banyak ayat lain dan sejumlah hadis Rasulullah saw. Rasulullah saw., misalnya, bersabda, “Demi Zat Yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh kalian (mempunyai dua pilihan): melaksanakan amar makruf nahi mungkar ataukah Allah benar-benar akan menimpakan siksaan dari sisi-Nya. Kemudian, setelah itu kalian berdoa, tetapi doa kalian itu tidak akan dikabulkan.” (H.R. At-Turmudzî, hadis no. 2259).

Hadis di atas merupakan salah satu qarînah (indikator) yang menunjukkan bahwa thalab (tuntutan) tersebut bersifat tegas dan perintah yang terkandung di dalamnya hukumnya adalah wajib. Jamaah terorganisasi yang dimaksud haruslah berbentuk partai politik. Kesimpulan ini dapat dilihat dari segi:

(1) ayat di atas telah memerintahkan kepada umat Islam agar di antara mereka ada sekelompok orang yang membentuk suatu jamaah;

(2) ayat di atas juga telah membatasi aktivitas jamaah yang dimaksud, yaitu mendakwahkan Islam dan melaksanakan amar makruf nahyi munkar. Sementara itu, aktivitas amar makruf nahi mungkar di dalamnya mencakup upaya menyeru para penguasa agar mereka berbuat kebajikan (melaksanakan syariat Islam) dan mencegah mereka berbuat kemungkaran (melaksanakan sesuatu yang tidak bersumber dari syariat, misalnya, bersikap zalim, fasik, dan lain-lain, penerj.). Bahkan, inilah bagian terpenting dalam aktivitas amar makruf nahi mungkar, yaitu mengawasi para penguasa dan menyampaikan nasihat kepada mereka. Aktivitas-aktivitas seperti ini jelas merupakan salah satu aktivitas politik, bahkan termasuk aktivitas politik yang amat penting. Aktivitas politik ini merupakan ciri utama dari partai-partai politik yang ada. Dengan demikian, ayat di atas menunjukkan pada adanya kewajiban mendirikan partai-partai politik. Akan tetapi, ayat tersebut di atas memberi batasan bahwa kelompok-kelompok yang terorganisasi tadi mesti berbentuk partai-partai Islam. Sebab, tugas yang telah ditentukan oleh ayat tersebut --yakni mendakwahkan kepada Islam dan mewujudkan amar makruf nahi mungkar sesuai dengan hukum-hukum Islam-- tidak mungkin dapat dilaksanakan kecuali oleh organisasi-organisasi dan partai-partai Islam. Partai Islam adalah partai yang berasaskan akidah Islam; partai yang mengadopsi dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum, dan solusi-solusi (atas berbagai problematika umat) yang Islami; serta partai yang tharîqah (metode) operasionalnya adalah metode Rasulullah saw.

Oleh karena itu, tidak dibolehkan organisasi-organisasi/partai-partai politik yang ada di tengah-tengah umat Islam berdiri di atas dasar selain Islam, baik dari segi fikrah (ide dasar) maupun tharîqah (metode)-nya. Hal ini, di samping karena Allah Swt. telah memerintahkan demikian, juga karena Islam adalah satu-satunya mabda’ (ideologi) yang benar dan layak di muka bumi ini. Islam adalah mabda’ yang bersifat universal, sesuai dengan fitrah manusia, dan dapat memberikan jalan pemecahan kepada manusia (atas berbagai problematikan mereka, penerj.) secara manusiawi. Oleh karena itu, Islam telah mengarahkan potensi hidup manusia—berupa gharâ’iz (naluri-naluri) dan hajât ‘udhawiyyah (tuntutan jasmani), mengaturnya, dan mengatur pemecahannya dengan suatu tatanan yang benar; tidak mengekang dan tidak pula melepaskannya sama sekali; tidak ada saling mendominasi antara satu gharîzah (naluri) atas gharîzah (naluri) yang lain.
 


Islam adalah ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan
Allah Swt. telah mewajibkan umat Islam agar selalu terikat dengan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, baik menyangkut hubungannya dengan Pencipta mereka, seperti hukum-hukum yang mengatur masalah akidah dan ibadah; menyangkut hubungannya dengan dirinya sendiri, seperti hukum-hukum yang mengatur masalah akhlak, makanan, pakaian, dan lain-lain; ataupun menyangkut hubungannya dengan sesama manusia, seperti hukum-hukum yang mengatur masalah muamalat dan perundang-undangan. Allah Swt. juga telah mewajibkan umat Islam agar menerapkan Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan mereka, menjalankan pemerintahan Islam, serta menjadikan hukum-hukum syariat yang bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-
Nya sebagai konstitusi dan sistem perundang-undangan mereka. Allah Swt. berfirman :

Putuskanlah perkara di antara manusia berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (hukum Allah) yang telah datang kepada kalian. (QS al-Mâ’idah [5]: 48).

Hendaklah kalian memutuskan perkara di antara manusia berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kalian terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkan kalian dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepada kalian. (QS al-Mâ’idah [5]: 49).
Oleh karena itu, Islam memandang bahwa tidak menjalankan pemerintahan berdasarkan hukum Islam merupakan sebuah tindakan kekufuran, sebagaimana firman-Nya: Siapa saja yang tidak memutuskan perkara (menjalankan urusan pemerintahan) berdasarkan wahyu yang telah diturunkan Allah, berarti mereka itulah orang-orang kafir. (QS al-Mâ’idah [5]: 44).

Semua mabda’ (ideologi) selain Islam, seperti kapitalisme dan sosialisme (termasuk di dalamnya komunisme), tidak lain merupakan ideologi-ideologi destruktif (rusak) dan bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Ideologi-ideologi tersebut adalah buatan manusia yang sudah nyata kerusakannya dan telah terbukti cacat-celanya. Semua ideologi yang ada selain Islam tersebut bertentangan dengan Islam dan hukum-hukumnya. Oleh karena itu, upaya mengambil dan meyebarluaskannya serta dan membentuk organisasi/partai berdasarkan ideologi-ideologi tersebut adalah termasuk tindakan yang diharamkan oleh Islam.

Dengan demikian, organisasi/partai umat Islam wajib berdasarkan Islam semata, baik ide maupun metodenya. Umat Islam haram membentuk organisasi/partai atas dasar kapitalisme, komunisme, sosialisme, nasionalisme, patriotisme, primordialisme (sektarianisme), aristokrasi, atau freemasonry. Umat Islam juga haram menjadi anggota ataupun simpatisan partai-partai di atas karena semuanya merupakan partai-partai kufur yang mengajak kepada kekufuran. Padahal Allah Swt. telah berfirman:
Barangsiapa yang mencari agama (cara hidup) selain Islam, niscaya tidak akan diterima, sementara di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi. (QS Ali Imran [3]: 85).

Allah Swt. juga berfirman dalam ayat yang kami jadikan patokan di sini, yaitu, mengajak kepada kebaikan, yang dapat diartikan dengan mengajak pada Islam.

Sementara itu, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amal-perbuatan yang bukan termasuk urusan kami, berarti amal-perbuatan itu tertolak.” (H.R. Muslim, hadis no. 1718).

Rasulullah saw. juga bersabda, “Barangsiapa yang mengajak orang pada ashabiyah (primordialisme, sektarianisme) tidaklah termasuk golongan kami.” (H.R. Abû Dâwud, hadis no. 5121).

Berkaitan dengan hal di atas, upaya untuk membangkitkan umat dari kemerosotan yang dideritanya; membebaskan mereka dari ide-ide, sistem, dan hukum-hukum kufur; serta melepaskan mereka dari kekuasaan dan dominasi negara-negara kafir, sesungguhnya dapat ditempuh dengan jalan meningkatkan taraf berfikir mereka. Upaya riilnya adalah dengan melakukan reformasi total dan fundamental atas ide-ide dan persepsi-persepsi yang telah menyebabkan kemerosotan mereka. Setelah itu, ditanamkan di dalam benak umat ide-ide dan pemahaman-pemahaman Islam yang benar. Upaya demikian diharapkan dapat menciptakan perilaku umat dalam kehidupan ini yang sesuai dengan ide-ide dan hukum-hukum Islam.
 


Sebab-sebab Kemerosotan Umat Islam 
Sesungguhnya kemerosotan yang sangat fatal dan tidak pantas diderita oleh umat Islam adalah akibat dari sangat lemahnya mereka di dalam memahami dan merealisasikan Islam. Hal ini diakibatkan oleh sejumlah faktor yang berhasil mengaburkan fikrah (ide) dan tharîqah (metode) dari ideologi Islam (deideologisasi Islam), yang dilancarkan sejak abad kedua Hijriah sampai saat ini. Faktor-faktor tersebut muncul karena beberapa hal, yang paling dominan antara lain adalah:

1) Adanya transfer filsafat India, Persia, dan Yunani, serta adanya upaya umat Islam untuk mengkompromikan filsafat-filsafat tersebut dengan Islam, walaupun terdapat perbedaan mendasar di antara keduanya.

2) Adanya manipulasi terhadap ajaran Islam oleh orang-orang yang membenci Islam, baik menyangkut ide-ide ataupun hukum-hukumnya, yang sebenarnya tidak berasal dari Islam. Upaya ini dimaksudkan untuk merusak citra Islam dan menjauhkan umat Islam dari Islam.

3) Diabaikannya bahasa Arab dalam memahami dan merealisasikan ajaran Islam, yang kemudian disusul dengan dipisahkan bahasa ini dari Islam pada abad ketujuh Hijriah. Padahal Islam tidak mungkin dapat dipahami tanpa bahasa Arab. Penggalian (istinbâth) hukum-hukum baru atas berbagai fakta-kejadian yang berkembang melalui jalan ijtihad jelas tidak mungkin dapat dilakukan tanpa memahami bahasa Arab. 4) Adanya gelombang serangan kaum misionaris, serangan (orientalis) dalam bidang kebudayaan, dan kemudian disusul oleh serangan secara politis (yang mendominasi dunia Islam) dari negara-negara kafir Barat, sejak abad ke-17 Masehi. Serangan-serangan tersebut bertujuan untuk memalingkan pandangan umat Islam dari Islam, menjauhkan mereka dari Islam, dan pada akhirnya menghancurkan Islam itu sendiri.

Sebab-sebab Kegagalan Umat Islam
Berbagai macam upaya untuk membangkitkan umat Islam telah banyak dilakukan. Berbagai bentuk gerakan, baik yang Islami ataupun yang tidak Islami, telah banyak pula didirikan untuk tujuan yang sama.

Namun demikian, semuanya mengalami kegagalan dan belum berhasil membangkitkan umat Islam, bahkan tidak berdaya dalam membendung arus kemerosotan umat yang fatal tersebut. Kegagalan seluruh usaha dan gerakan untuk membangkitkan kembali umat Islam atas dasar Islam disebabkan, antara lain, oleh beberapa faktor berikut ini:

1) Tidak adanya pemahaman yang rinci dan mendetail mengenai ide (fikrah) Islam pada pihak-pihak yang berupaya membangkitkan kembali umat Islam, karena mereka terpengaruh oleh berbagai faktor yang mengaburkan. Mereka mendakwahkan Islam dalam bentuk yang terlalu general (umum) dan sangat longgar. Mereka tidak berusaha menentukan ide-ide dan hukum-hukum mana yang hendak digunakan untuk membangkitkan umat. Mereka juga tidak berdaya dalam mengatasi segala macam problematika umat melalui ide-ide Islam berikut pelaksanaannya. Hal ini disebabkan oleh belum adanya gambaran yang jelas tentang ide-ide dan hukum-hukum Islam di dalam benak mereka.

Pemikiran mereka lebih banyak diilhami dan dipengaruhi oleh berbagai fakta-fakta yang ada. Mereka menjadikan fakta-fakta tersebut sebagai pijakan bagi pemikiran mereka. Mereka juga berupaya untuk menakwilkan dan menafsirkan Islam dengan penakwilan dan penafsiran yang tidak sesuai dengan apa yang tersirat dalan nash (teks al-Quran dan Sunnah). Dengan begitu, hukum-hukum Islam dipaksa untuk mengakomodasi fakta-fakta yang ada, kendati fakta-fakta tersebut nyata-nyata berlawanan secara diametral dengan Islam. Artinya, yang mereka lakukan bukanlah menjadikan fakta-fakta tersebut sebagai objek pemikiran yang harus diubah sehingga sejalan dengan hukum-hukum Islam. Oleh karena itu, tidak aneh apabila mereka senantiasa menyerukan slogan-
slogan liberalisme, demokrasi, kapitalisme, dan sosialisme. Mereka menganggap semua itu sebagai bersumber dari Islam, meskipun secara total, semua itu sangat bertentangan dengan Islam.

2) Tidak tampaknya pada benak mereka kejelasan metode (tharîqah) Islam di dalam merealisasikan serta mengaplikasikan ide-ide dan hukum-hukum Islam dalam suatu gambaran yang jelas dan sempurna. Mereka acapkali mengemban ide-ide Islam yang tidak jelas melalui media yang juga tidak terencana (terkesan spontan) dan dalam bentuk-bentuk yang sangat absurd (diliputi kesamaran). Mereka acapkali beranggapan bahwa kembalinya Islam dapat ditempuh dengan cara membangun banyak masjid, menerbitkan buku-buku Islam, mendirikan organisasi–organisasi sosial-kemanusiaan, atau hanya melalui pendidikan akhlak dan pembinaan yang bersifat individual semata. Mereka acapkali mengabaikan kondisi masyarakat yang dekaden dan tidak mempedulikan bagaimana ide-ide, hukum-hukum, dan sistem kehidupan kufur telah demikian mencengkram kuat di tengah-tengah masyarakat. Mereka berasumsi bahwa perbaikan masyarakat akan terjadi melalui perbaikan individu-individunya semata. Padahal perbaikan masyarakat hanya akan terwujud dengan cara meluruskan kembali pemikiran-pemikiran dan perasaan-perasaan masyarakat serta aturan-aturan yang berlaku di tengah-tengah mereka. Meluruskan dan memperbaiki aspek ini secara otomatis dapat membawa pada perbaikan seluruh anggota masyarakat. Sebab, masyarakat bukan hanya terdiri dari kumpulan individu-individu semata, tetapi juga berikut seluruh interaksi yang terjadi di antara mereka—yang berarti melibatkan segenap pemikiran dan perasaan masyarat serta hukum-hukum yang berlaku di tengah-tengah mereka.

Cara seperti inilah yang telah dilakukan Rasulullah saw. dalam melakukan transformasi sosial (mengubah masyarakat) dari masyarakat jahiliah menjadi masyarskat Islam. Beliau berusaha mengubah akidah yang berlaku pada saat itu dengan akidah Islam; mengubah pemikiran, persepsi-persepsi, dan tradisi-tradisi jahiliah dengan pemikiran-pemikiran, persepsi-persepsi, dan hukum-hukum islam. Dari sinilah perasaan masyarakat Arab dapat berubah; dari perasaan yang terikat dengan akidah, ide-ide, dan tradisi-tradisi jahiliah menjadi terikat dengan akidah, ide-ide, dan hukum-hukum Islam—hingga Allah Swt. menentukan keberhasilan beliau dalam mengubah masyarakat Madinah. Pada waktu itu, sebagian besar penduduk Madinah telah memeluk Islam, sekaligus mengadopsi ide-ide, pemahaman-pemahaman, dan hukum-hukum Islam. Pada saat itulah Rasulullah saw. beserta para sahabatnya berhijrah ke Madinah setelah terjadi Baiat Aqabah kedua. Sejak saat itu beliau mulai memberlakukan hukum-hukum Islam. Dengan begitu, terbentuklah saat itu masyarakat Islam di Madinah.

Di antara umat Islam ada juga yang menggunakan metode kekuatan fisik dan mengangkat senjata, tanpa membedakan antara dâr al-Islâm (daulah Islam) dan dâr al-kufr (negara kufur), tanpa membedakan antara metode menyampaikan dakwah dan menentang kemungkaran di masing-masing tempat tersebut. Sementara itu, negara yang sedang kita tempati saat ini adalah dâr al-kufr, karena di dalamnya diterapkan hukum-hukum kufur. Keadaan ini mirip dengan keadaan di Makkah pada saat Rasulullah saw. diutus. Cara mengemban dakwah dalam keadaan seperti ini adalah dengan dakwah secara lisan dan aktivitas politik, bukan dengan kekuatan fisik; persis seperti cara yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw. di Makkah. Ketika itu beliau membatasi aktivitasnya hanya pada aktivitas-aktivitas dakwah secara lisan semata; beliau tidak menggunakan kekuatan fisik. Hal ini karena aktivitas dakwah beliau tidak dimaksudkan untuk mengubah penguasa yang tidak menerapkan hukum-hukum Allah Swt. di dâr al-Islâm, melainkan dimaksudkan untuk mengubah dâr al-kufr berikut pemikiran-pemikiran dan sistemnya. Semua ini dapat dilakukan dengan cara mengubah pemikiran-pemikiran dan perasaan-
persaan masyarakat serta peraturan-peraturan yang berlaku di tengah-tengah mereka, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. di Makkah.  Sementara itu, dalam konteks dâr al-Islâm yang menerapkan di dalamnya hukum-hukum Allah Swt., apabila penguasanya telah terbukti menyimpang dengan mengadopsi dan memberlakukan hukum kufur secara nyata, maka wajib bagi umat Islam untuk menentang dan meluruskannya agar penguasa tersebut kembali pada hukum Islam. Akan tetapi, apabila penguasa tidak mau kembali, maka umat Islam wajib mengangkat senjata untuk memaksanya agar kembali kepada hukum yang telah diturunkan Allah. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw. bersabda, sebagaimana telah dijelaskan dalam hadis ‘Ubâdah ibn ash-Shâmit, “Kami tidak merampas kekuasaan dari pemiliknya, kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang nyata, yang dapat dibuktikan disisi Allah.” (Shahih Al-Bukhârî, jilid 13, hlm. 167; Shahih Muslim no. 1709). Dalam riwayat ‘Awf ibn Mâlik, disebutkan bahwa telah ditanyakan kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka itu dengan pedang?” Beliau menjawab, “Tidak, selama mereka masih mendirikan salat.” (H.R. Muslim, no. 1855).

Mendirikan salat di sini merupakan kinayah (makna implisit) dari pelaksanaan hukum Islam. Kedua hadis ini berkaitan dengan cara meluruskan seorang penguasa Muslim di dâr al-Islâm, menjelaskan cara melaksanakan koreksi, dan menerangkan kapan harus menggunakan kekuatan fisik untuk mencegah timbulnya kekufuran yang nyata di dâr al-Islâm yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

Upaya Hizbut Tahrir untuk menegakkan kembali Daulah Khilafah dan menerapkan hukum-hukum yang telah diturunkan oleh Allah ke muka bumi terkait dengan kenyataan bahwa, Allah Swt. telah mewajibkan kepada seluruh umat Islam agar terikat dengan seluruh hukum syariat dan menjalankan pemerintahan sesuai dengan apa yang telah diturunkan Allah Swt. Semua itu tidak dapat dilakukan, kecuali dengan tegaknya Daulah Islamiyah dan diangkatnya seorang khalifah yang menerapkan Islam atas seluruh umat manusia.

Sejak Daulah Khilafah dihapuskan pada saat Perang Dunia I, umat Islam hidup tanpa naungan Daulah Islam dan tanpa menjalankan lagi pemerintahan Islam. Oleh karena itu, usaha untuk mendirikan kembali Khilafah dan memberlakukan kembali hukum yang diturunkan Allah ke muka bumi adalah sebuah kewajiban yang tegas. Kewajiban ini telah dibebankan oleh Islam kepada umat. Kewajiban ini mesti direalisasikan; tidak ada alternatif (pilihan) lain selain mengerjakannya. Masalah ini tidak boleh kita pandang sepele.
Melalaikan tugas ini adalah sebuah kemaksiatan yang sangat besar.

Allah akan menyiksa (orang-orang yang melalaikannya) dengan siksaan yang sangat berat. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Siapa saja yang mati sementara di pundaknya tidak ada baiat (kepada seorang khalifah), maka kematiannya adalah seperti kematian orang jahiliah (maksudnya, ia akan memikul dosa besar, penerj.).” (H.R. Muslim, hadis no. 1851). Bersikap pasif atau berdiam diri terhadap tugas ini sama artinya dengan melalaikan tegaknya salah satu kewajiban utama dalam Islam.

Tegaknya khilafah ini sangatlah menentukan tegaknya hukum-hukum Islam, bahkan menentukan eksistensi Islam itu sendiri di tengah-tengah kehidupan. Dalam hal ini, sebuah kaidah ushul menyebutkan, “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bih fa huwa wâjib.” Artinya, suatu kewajiban yang tidak dapat direalisasikan kecuali dengan adanya sesuatu berarti sesuatu itu menjadi wajib adanya.

Dengan latar belakang seperti itulah Hizbut Tahrir berdiri. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berasaskan akidah Islam. Partai ini juga telah mengambil serta menetapkan ide-ide dan hukum-hukum Islam yang diperlukan untuk mencapai tujuannya. Partai ini telah berupaya menghindarkan dirinya dari seluruh kekurangan dan faktor-faktor kegagalan yang pernah diderita berbagai organisasi atau gerakan yang ada, yang telah berdiri untuk membangkitkan umat dengan Islam. Hizbut Tahrir telah menyadari sepenuhnya seluruh ide dan metode dakwah dengan sebuah kesadaran rasional dan mendetail sesuai dengan apa yang telah diterangkan oleh wahyu, baik yang bersumber dari Kitabullah maupun Sunnah Rasul-Nya, dan sesuai pula dengan apa yang ditunjukkan oleh dua sumber tadi, yaitu ijma sahabat dan qiyas. Hizbut Tahrir telah melakukan serangkaian penelitian yang cermat atas berbagai fakta yang terjadi dan memandangnya sebagai sasaran pemikirannya untuk diubah dan disesuaikan dengan hukum Islam. Partai ini hanya mengikuti tharîqah (metode) dakwah Rasulullah saw. di dalam perjalanannya mengemban dakwah, sejak beliau berada di Makkah sampai beliau berhasil menegakkan pemerintah Islam di Madinah. Hizbut Tahrir menjadikan akidah Islam serta ide-ide dan hukum-hukumnya sebagai ikatan yang mempersatukan seluruh anggota dan para aktivisnya.

Oleh karena itu, wajar jika partai ini dapat diterima dan didukung oleh umat Islam untuk bersama-sama berjalan dengan Hizbut Tahrir. Bahkan umat Islam memiliki kewajiban untuk menerima, mendukung, dan berjuang bersama partai. Sebab, Hizbut Tahrir merupakan satu-satunya partai yang telah memahami secara optimal ide-ide Islam; melihat dengan jelas jalan dakwahnya; menguasai permasalahan umat; serta berupaya untuk tetap konsisten mengikuti jejak Sirah Rasulullah saw.—tanpa bergeser sedikit pun dari langkah-langkah beliau dan tidak ada seorang pun yang dapat membelokkannya dari tujuan dakwahnya.
 


Tujuan Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir memiliki dua tujuan: (1) melangsungkan kehidupan Islam; (2) mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Tujuan ini berarti mengajak umat Islam agar kembali hidup secara Islami di dâr al-Islam dan di dalam lingkungan masyarakat Islam. Tujuan ini berarti pula menjadikan seluruh aktivitas kehidupan diatur sesuai dengan hukum-hukum syariat serta menjadikan seluruh pandangan hidup dilandaskan pada standar halal dan haram di bawah naungan dawlah Islam. Dawlah ini adalah dawlah-khilâfah yang dipimpin oleh seorang khalifah yang diangkat dan dibaiat oleh umat Islam untuk didengar dan ditaati. Khalifah yang telah diangkat berkewajiban untuk menjalankan pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya serta mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.

Di samping itu, aktivitas Hizbut Tahrir dimaksudkan untuk membangkitkan kembali umat Islam dengan kebangkitan yang benar melalui pemikiran yang tercerahkan. Hizbut Tahrir berusaha untuk mengembalikan posisi umat Islam ke masa kejayaan dan keemasannya, yakni tatkala umat dapat mengambil alih kendali negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia ini. Hizbut Tahrir juga berupaya agar umat dapat menjadikan kembali dawlah Islam sebagai negara terkemuka di dunia—sebagaimana yang telah terjadi di masa silam; sebuah negara yang mampu mengendalikan dunia ini sesuai dengan hukum Islam.

Partai ini juga bertujuan untuk menyampaikan hidayah (petunjuk syariat) bagi umat manusia; memimpin umat Islam untuk menentang kekufuran berikut ide-ide dan sistem perundang-undangannya secara menyeluruh, sehingga Islam dapat menyelimuti bumi ini.
 


Keanggotaan Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir menerima anggota dari kalangan umat Islam, baik pria maupun wanita, tanpa memperhatikan lagi apakah mereka keturunan Arab atau bukan, berkulit putih ataupun hitam. Hizbut Tahrir adalah sebuah partai untuk seluruh umat Islam. Partai ini menyerukan kepada umat untuk mengemban dakwah Islam serta mengambil dan menetapkan seluruh aturan-aturannya tanpa memandang lagi ras-ras kebangsaan, warna kulit, maupun mazhab-mazhab mereka. Hizbut Tahrir melihat semuanya dari pandangan Islam.
Para anggota dan aktivis Hizbut Tahrir dipersatukan dan diikat oleh akidah Islam, kematangan mereka dalam penguasaan ide-ide (Islam) yang diemban oleh Hizbut Tahrir, serta komitmen mereka untuk mengadopsi ide-ide dan pendapat-pendapat Hizbut Tahrir. Mereka sendirilah yang mengharuskan dirinya menjadi anggota Hizbut Tahrir, setelah sebelumnya ia terlibat secara intens dengan Hizb; berinteraksi langsung dengan dakwah bersama Hizb; serta mengadopsi ide-ide dan pendapat-pendapat Hizb. Dengan kata lain, ikatan yang mengikat para anggota dan aktivis Hizbut Tahrir adalah akidah Islam dan tsaqâfah (ide-ide) Hizb yang sepenuhnya diambil dari dari akidah ini.

Halaqah-halaqah atau pembinaan wanita di dalam tubuh Hizbut Tahrir terpisah deri halaqah-halaqah pria. Yang memimpin halaqah-halaqah wanita adalah para suami, para muhrimnya, atau sesama wanita.
 

0 komentar:

Posting Komentar